UPACARA NADRAN


NADRAN

Nadran adalah upacara adat bagi para nelayan di pesisir pantai utara Jawa, nadran dalam istilah tradisi masyarakat Desa Juntinyuat disebut juga sebagai Pesta laut atau Sedekah Laut. Nadran adalah bentuk Sukuran dan Slametan yang dilakukan oleh semua komponen masyarakat atas hasil tangkapan ikan dalam melaut selama setahun penuh, dan mengharapkan adanya peningkatan rejeki, dengan tidak adanya aral melintang pada tahun mendatang.
Upacara Nadran diselenggarakan secara rutin pada setiap tahunnya, bagi masyarakat Mertasinga nadranan adalah pesta rakyat, sehingga selain upacara ritual adat, ada runtutan pagelaran kesenian tradisional dan Pasar Malam yang diselenggarakan selama satu minggu. Prosesi upacara Nadran, dimualai dengan mengumpulkan sesajen atau sajian-sajian makanan sebagai simbol bagi persembahan melaut, sesajen bisa berisikan macam-macam makanan khas, buah-buahan, kepala kerbau yang masih segar, kembang tujuh rupa, dan lain-lainnya. kemudian sesajen diarak dalam karnaval dengan mengelilingi jalan kampung, sesajen ditempatkan spesial didalam replika Kapal Laut, dan arak-arakan sesajen biasanya diiringi berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, telik sandi dan jangkungan, atau seni kontemporer seperti barongsai dan drumband, yang kemudian karnaval melaju beriringan menggunakan kapal-kapal nelayan guna melemparkan sesajen ke lautan dalam.

Upacara Nadran adalah suatu tradisi warisan dari nenek moyang sejak ratusan tahun silam, yang masih terus dilakukan dan dijaga secara turun-temurun. Nadran merupakan suatu tradisi dari perpaduan budaya Hindu dan Islam, kata nadran menurut masyarakat setempat, berasal dari kata nazar, yang dalam gramatikal bahasa arab (Islam) bermakna “pemenuhan janji”. Dalam prosesi ritual Nadran ada bentuk pemenuhan Sesajen atau “sajian”, yaitu sesajen sebagaimana dalam simbol-simbol ritual agama Hindu.
Persembah Sesajen, pada prakteknya adalah pemenuhan sajian-sajiaan makanan dan kepala kerbau yang dilemparkan ke lautan lepas, dengan keyakinan masyarakat bahwa niatan tulus melemparkan sesajen adalah memberi makanan ikan-ikan di lautan, dan berharap semoga mendapatkan keselamatan melaut dan rejeki yang melimpah-ruah.
            Konon bersal dari pengaruh islam dari kosakata nadir (syukuran/kaulan), tetapi dalam tradisi Hindu pun ada upacara nyadran, bersal dari kosakata srada. Menurut Ritawati, dkk. (1991:81), srda ialah semacam upacara pemujaan arwah nenek moyang dan para dewa, sesuai dengan kepercayaan rakyat pada masa itu.
            
Secara tradisi, nadran sebagai wujud syukur kaum nelayan kepada alam (laut) dan Sang Pencipta. Di situ ada kepercayaan mulang trima (berterima kasih). Setiap nadran, digelar kesenian wajib berupa wayang kulit dengan lakon Budug Basu yang berhubungan dengan penguasa laut (dewa Baruna). Pada puncak upacara, sesajen berupa kepala kerbau dihanyutkan di tengah laut bersama sebuah perahu mini terbuat dari kertas dan pelepah pisang, yang konon diperuntukan bagi Budug Basu.
            Dalam lakon wayang kulit menurut vesri Indramayu, Budug Basu adalah putra Batara Guru. Ia jatuh cinta kepada Dewi Pohaci atau Dewi Sri, tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Dewi Sri menolak Baduga Basu, karean rupa Badug Basu yang buruk, badanya penuh dengan koreng (luka bernanah) dan berbau anyir (amis, bahasa Jawa). Baduga Basu sangat menderita, dan akhirnya meninggal. Tak seorangpum yang mau menguburkan mayat Badug Basu, karena baunya yang sangat menyengat. Dewa menyuruh dua bersaudara bernama Cukeng dan Wrengkeng untuk melempar mayat itu ke laut. Konon, tubug Badug Basu itu menjadi ikan-ikan di laut, sehingga ikan berbau amis. Dalam hajat selamatan (syukuran) tradisi indramayu, dilarang menghidangkan ikan dengan nasi, karena ikan adalah representasi Badug Basu dan nasi (padi) adalah representasi Dewi Sri.
            Symbol-simbol lakon wayang dalam nadran seperti itu merupakan mitologi yang terus hidup di dalam pikiran masyarakat nelayan. Karena hal itu berkaitan dengan strata kemasyarakatan yang menggolongkan nelayan sebagai masyarakat tradisional. Dalam masyarakat tradisional. Menurut Daeng (2008: 103), mitologi memainkan peran sebagai pengatur tingkah laku masyarakat yang akan berjalan baik karena diyakini akan camput tangan leluhur yang berada di dunia sana.



Penulis  : MUHAMAD JAYA NINGRAT
NIM       : 18123118
Sumber Tulisan : Buku Supali Kasim, BUADAY DERMAYU Nilai-nilai Hisoris, Estetis, dan Transendental.  Pestakadjati, 2013

SILAHKAN KLIK LINK DI BAWAH  UNTUK MENONTON VIDIO

Comments

Popular posts from this blog

KAWIH WANDA ANYAR

KESENIAN BEROKAN

Helaran: KESENIAN REAK DOGDOG CINUNUK