TARLING


TARLING

Gambar 1. Mama Jana “pemegang gitar acoustic” seorang tokoh tarling

Tarling adalah seni yang lahir di tengah-tengah rakyat jelata. Seni yang tumbuh dan berkembang di masyarakat secara spontan berdasarkan apresiai terhadap kondisi sosial budaya pada zamannya. Menurut Sumardjo (2000:232), seni rakyat memiliki nilai spontanitas,kejujuran,kepolosan,dan kederhanaan yang di junjung tinggi. Indvidualitas dihindari. Karya seni pada mulanya bersifat invidual, tetapi lantas menjadi milik masyarakatnya, diubah, ditambah, dikembangkan, dan di bentuk menjadi format yang di akui sebagai seni oleh masyarakat.
Menurut Kasim, dkk.(2003), Tarling lahir dari ketidaksengajaan, yakni dari gitar milik orang Belanda pada dekade 1930-an digubah secara pentatonic oleh Sugra, seorang seniman di Desa Lemahabang Kecamatan Indramayu. Petikan gitar tersebut mampu menghadirkan alunan suling bambu ikut meningkahi, serta tembang tembang klasik daerah. Hingga decade 1940-an kesenian yang belum bernama itu mewabah di kalangan anak muda ke berbagai pelosok desa Indramayu dan Cirebon.
Pertunjukan secara  garis besar terdiri dari dua jenis, yakni tembang dan drama. Tembang terdiri dari tiga macam, yaitu tembang klasik, tembang “kiser gancang” (tempo agak cepat), dan kemudian lagu Cerbon-Dermayon berirama dangdut. Drama terdiri dari dua macam, yakni drama humor dan drama utama. Kelompok seni tarling di Indramayu yang dikenal anatar lain Nada Bhayangkara, Cahaya Muda, Endang Dharma, Kamajaya, Dharma Muda, Nengsih Group, Erni’s Group, Duniawati, Nada Cinta, dsb.

Gambar 2. CANDRA KIRANA yang masih populeh hingga masa kini

Secara alamiah, mindset tarling adalah jeritan rakyat jelata di pedesaan Indramayu-Cirebon. Jeritan akibat terkungkung gaya hidup feodalisme para juragan tani atau nelayan. Seringkali pula tersembul perlawanan kultural terhadap ketimpangan strata sosial yang menjurang antara wong sugih (kaya) dan wong mlarat (miskin). Meski demikian, tersembul nasehat “urip tulung-tinulung” (hidup saling menolong dan membantu), tersirat nilai ‘ala ketara, bener ketenger’ (yang salah tampak, yang benar kelihatan), termaktub juga wasiat ‘tega warase ora tega larane, tega larane ora tega patine’ (tega saat sehat tak tega saat sakit, tega saat sakit tak tega karena mati) dan lebih dari itu adalah ‘eling sangkan paraning dumadi’ (ingat asal tujuan hidup).
Sebaga masyarakat agraris, wong Cerbon-Dermayu menemukan apresiasi atas rutinitas kesehariannya pada kesenian tarling. Di situ ada realitas sosiokultural : majikan dan buruh pada masyarakat tani, juragan dan bidak pada nelayan, situasi yang mengetengahkan realitas sugih (kaya) dan mlarat (miskin). Akan tetapi tarling mengemas kesedihan dan kegembiraan denganestektika yang membuni. Dalam pertunjukan tarling, lapisan bawah dan atas seakan-akan menemukan daya intuisinya dan bersama-sama bisa menertawakan masing-masing secara satir.

Gambar 3 . Pertunjukan tearter tarling

Teater tarling, menurut Noer (2005:23) merupakan teater rakyat Cirebon/Indramayu yang bersemangat budaya pesisir  Cirebon/Indramayu serta menggunakan terutama bahasa daerah. Kalau terkadang di sana dan di sini digunakan bahasa Indonesia juga masih dalam kerangka berpikir Cirebon/Indramayu.
Kreasi tetabuhan dalam music tarling menunjukan geregap langkah yang cenderung menuju dinamika perubahan. Perubahan ini tampaknya mengikuti trend yang berlangsung dalam dinamika sosial masyarakat. Fase-fase perubahan music tarling adalah sebagai berikut:
(a)   Meringkas bunyi gamelan ke gitar dan suling,
(b)   Unsur perkusi mulai masuk kotak sabun dan baskom, melengkapi bunyi gitar dan suling.
(c)    “Orkestra tradisional” melengkapi gitar-suling, brupa gitar pengiring, gong, kendang, tutukan, dan kecrek. Peran ini banyak disumbang Uci Sanusi, karena Uci sebelumnya pimpinan orkes keroncong. Ia melakukan inovasi tarling sebagai sebuah “orkestra”
(d)    Penambahan unsur music dangdut, dengan ditambahi gendang dangdut, drumb, terompet, organ, dan markis, dan.
(e)    “Organ tunggal”, tetapi terkadang ditambahi gitar, kendang, dan suling, serta
(f)     Kembali dengan “orkestra tradisional” ditambahi alat music modern.

Realitas tarling sejak dulu hingga kini menunjukan seni yang terus mengalami dinamika kreasi. Awalnya seperti migrasi bunyi dari bunyi-bunyian gamelan kemudian diringkas ke gitar-suling. Kreasi itu terus berlanjut dalam musik, lagu, dan drama.
Sebagai sebuah kreasi, tarling memiliki kekhasan tersendiri, yakni menggunakan alat music gitar (dari Eropa) tetapi nada-nadanya adalah khas gamelan Cerbon-Dermayu. Kreasi berikutnya adalah mampi mengiringi lagu-lagu klasik dan drama, layaknya sebuah opera. Disitu ada dialog, ada lagu, tetapi juga seringkali mengekspresikan monolog dengan lagu ataupun dialog antarpemain dengan lagu.



Penulis  : MUHAMAD JAYA NINGRAT
NIM       : 18123118
Sumber Tulisan : Buku Supali Kasim, BUADAY DERMAYU Nilai-nilai Hisoris, Estetis, dan Transendental.  Pestakadjati, 2013
                     http://gigipriadji.net/mama-jana-tarling-klasik-cirebon/
SILAHKAN KLIK LINK DI BAWAH  UNTUK MENONTON VIDIO

Comments

Popular posts from this blog

KAWIH WANDA ANYAR

KESENIAN BEROKAN

Helaran: KESENIAN REAK DOGDOG CINUNUK