KESENIAN SASAPIAN BUHUN CIHIDEUNG


KESENIAN SASAPIAN BUHUN CIHIDEUNG

Gambar 1. Kesenian Sasapian
Kesenian Sasapian menurut etimologi berasal dari kata sa-sapi-an. Jadi Sasapian memiliki arti kata replika dari bentuk sapi tanpa ke empat kakinya yang dimainkan oleh manusia sebagai ciri khas utamanya. Sedangkan secara organology sasapian ialah kerangka boneka sapi yang terbuat dari bilah bambu yang dibuat sedemikian rupa menyerupai layaknya seekor sapi.
Pada awalnya, kebudayaan yang ada di Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat ini ialah Selametan Irung-Irungan. Kebudayaan  ini merupakan rangkaian acara Ngaruat Bumi yang dilaksanakan masyarakat Desa Cihideung sejak 1938 silam, informasi ini diperoleh dari sebuah makalah penelitian yang ditulis oleh Rizki Rinaldi seorang mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2015 yang mana ia memperoleh informasi tersebut dari salah seorang sesepuh Desa Cihideung yaitu Abah Endi. Sedangkan pada sebuah video dokumenter karya Mahasiswa Universitas Budi Luhur tentang kesenian Sasapian ini merupakan warisan budaya nenek moyang dari Desa Cihideung sejak tahun antara 1930-1932, ada juga yang             mengatakan beberapa versi kesenian ini lahir pada tahun 1920, ada juga dari tahun 1942, informasi ini didapat dari sebuah wawancara dengan Pak Agus Hendriana selaku Pengurus Sapi Buhun Desa Cihideung.
Pada tahun 1942, kesenian ini pernah dipanggil oleh Ratu Belanda Wilhemina untuk tampil sebagai hiburan di Lembang. Akhirnya, karena mayoritas masyarakat yang senang dengan kesenian ini, mulailah banyak bermunculan yang menciptakan-menciptakan kesenian ini. Kesenian “Sasapian” merupakan hasil dari kreativitas seorang seniman yang bernama abah Mahdi pada tahun 1942 di Desa Cihideung, informasi ini didapat dari makalah penelitian Rizki Rinaldi mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2015, sedangkan pada video dokumenter karya mahasiswa Universitas Budi Luhur hasil wawancara dengan Pengurus Sasapian, kesenian Sasapian ini dibuat sekitar pada tahun antara 1930-1932 oleh Bapak Atang, Bapak Ondo, Bapak Masdiah, Bapak Damin, dan masih banyak lagi.
Pada zaman dahulu kesenian Sapi Buhun ini dilaksanakan pada acara-acara tertentu, contohnya pada acara Selametan, selametan dari mata air yaitu irung-irung. Maka dari itu kebudayaan Selametan Irung-Irungan ini bertujuan atas rasa syukur masyarakat terhadap mata air Irung-Irung karena mayoritas penduduk Desa Cihideung adalah petani, dan peternak. Kesenian ini dimainkan rutin setiap satu tahun sekali pada masa panen tiba.
Gambar 2. Penyembelihan kambing
Gambar 3. Replika Sapi
Sasapian ini terbuat dari bambu yang dibentuk menyerupai sapi. Kemudian di bagian kepala menggunakan aseupan, tanduknya menggunakan sapu lidi, di bagian telinganya menggunakan daluan. Lalu untuk badannya menggunakan kain berwarna putih. Karena minimnya pabrik pembuat kain, maka di bagian badan asal tertutup oleh kain saja. Dulu waktu jaman penjajahan Belanda, untuk di bagian badannya menggunakan Kain Kasang pemberian Belanda. Akan tetapi, sekarang telah diganti menggunakan kain kasa putih lalu kemudian dibentuk menyerupai sapi, dan diberi corak seperti yang ada di kulit sapi.
Gambar 4. Ritual sebelum pertunjukan
Setelah selesai membuat boneka sapi, maka pada malam harinya diadakan ritual sebelum esok pementasan. Ritual ini meliputi doa-doa, sesajen, dan mantra-mantra.  Sesajen ini ada 19 macam, diantaranya pisang ambon, kelapa dawegan hijau, gula merah, kemenyan, dan lain-lain. Ritual ini dilakukan agar roh-roh berdatangan dan menyantap sesajen yang telah disediakan. Selain itu, ritual ini bertujuan untuk meminta tolong agar pementasan berjalan lancar dengan maksud yang baik yaitu sebagai hiburan. Setelah dibacakan doa-doa dan mantra-mantra, boneka sapi tersebut didiamkan selama satu malam. Lalu, keesokan harinya sebelum pementasan diadakan kembali ritual sebelum pentas. Berbeda dengan ritual yang pertama, ritual yang kedua ini dilaksanakan di tempat pementasan dengan kemenyan, sesajen dawegan kelapa hijau, dengan diatasnya ada gula merah dan di dalam boneka sapi tersebut ada seseorang yang akan kerasukan seperti sapi. Ritual kedua ini dilakukan dengan maksud supaya lebih afdol, jadi roh yang datang itu roh yang biasanya mengisi, baik pentas dimanapun roh yang datang itu juga.
Dalam kesenian Sasapian ini tidak ada aturan untuk iringan musiknya. Kesenian ini tidak mengenal diatonis dan pentatonis. Kesenian ini memainkan ketukan secara monoton, karena memang dari dahulu tetap begitu tidak ada yang dirubah. Untuk iringan musiknya menggunakan bonang dua, gong, bedug, dan kendang. Kemudian untuk tariannya, tidak ada pola tarian. Tarian sasapian ini termasuk spontanitas karena adanya unsur magis dalam pementasannya.
Gambar 5. Kerasukan roh halus pada saat pertunjukan
Bentuk pertunjukan dari kesenian Sasapian yaitu teatrikal kolosal. Kesenian ini menggambarkan tentang beberapa orang memburu sapi. Sekelompok orang (Paninggaran) yang menari mengelilingi Sapi dengan memegang golok mengikuti irama yang dimainkan oleh pemain musik (Nayaga). Kemudian pada waktu tertentu sapi tersebut disergap oleh salah seorang paninggaran, kemudian langsung disembelih. Nilai-nilai teatrikal dan kolosalnya yaitu terletak pada tarian dan pada saat penyergapan sapi untuk disembelih, kemudian personil yang berperan pada kesenian itu termasuk banyak. Personil pada pertunjukan Sasapian ini, diantaranya:
Ø  Paninggaran, adalah orang yang menari dengan memegang senjata tajam (golok) untuk memburu sapi.
Ø  Kuda Lumping, adalah orang yang menari layaknya kuda sedang menari.
Ø  Pupuhu, adalah orang yang akan membantu para pemain yang kerasukan untuk disadarkan kembali.
Ø  Nayaga, adalah pemain musik yang mengiringi kesenian Sasapian.
Gambar 6. Personil Kesenian Sasapian
Untuk kostumnya para pemain menggunakan seragam seperti baju pangsi akan tetapi dengan warna yang berbeda setiap orangnya tergantung dengan perannya. Untuk Paninggaran menggunakan baju hijau, Nayaga menggunakan baju warna cream, Pupuhu menggunakan baju warna merah marun. Pada sisi musik iringannya, kesenian ini tidak ada pola tabuhan. Kesenian ini diiringi oleh kendang, gong, bonang dua, bedug. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, untuk iringannya ada yang ditambah dengan menggunakan terompet.
Kesenian ini memiliki makna yang sangat luas. Salah satunya, dengan memburu dan menyembelih sapi ini memiliki simbol untuk membunuh sifat hewani yang ada pada dalam diri manusia setelah mendapatkan hasil panen. Lalu sapi ini memiliki arti kesejahteraan. Kesejahteraan pada masyarakat Cihideung yang mayoritasnya adalah petani dan peternak.

Penulis : Ari Kresna 
NIM : 18123121

Comments

Popular posts from this blog

KAWIH WANDA ANYAR

KESENIAN BEROKAN

Helaran: KESENIAN REAK DOGDOG CINUNUK