SENI PANTUN
SENI PANTUN
Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung.
Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya menggunakan kacapi siter (Jawa). Adapun tangga nada (laras) yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.
Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk yang disesuaikan dengan fungsi pertunjukannya. Pertama, untuk hiburan, dan kedua untuk acara ritual (ruwatan). Sajian hiburan, ceritanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, atau atas permintaan penanggap. Sedangkan untuk acara ritual dalam ruwatan, ceritanya sama dengan dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala, Kama Salah atau Murwa Kala. Dalam sajian pantun untuk ruwatan (tolak bala) diperuntukkan bagi orang-orang yang termasuk dalam sukerta, di antaranya anak tunggal, anak kembar, lima anak laki-laki, atau untuk keselamatan rumah baru, bangunan baru dan lain-lain. Pertunjukannya biasa dimulai sekitar pukul 02.00 - 05.00. Rajah dalam pertunjukan ruwatan lebih panjang lebih tampak kesakralannya. Sedangkan sajian pantun untuk kepentingan hiburan biasanya diadakan di rumah penanggap yang waktunya pada malam hari. Pertunjukan dimulai pukul 20.00 dan berakhlr sekitar pukul 04.00. Sekalipun pertunjukan Pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan disajikan.
Pantun masih dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan pada leluhur. Dengan demikian bentuk pertunjukan Pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda Secara umum pola pertunjukan Pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan); mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu sampai Islam yang jadi anutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) juru pantun merupakan pembauran keduan zaman itu. Selain isthigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur), buyut, dan lain-lain. Kesenian Pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda dengan berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda Kuna, memberi dampak pada nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat Sunda yang berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Seni Pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk dapat merasakan kembali sebuah masa keemasan sejarah masa lampau masyarakatnya.
Penulis : Galih Bayu P
NIM : 18123128
Sumber tulisan : Wikipedia
Comments
Post a Comment